oleh : Muhammad Chandra (Bupati Mahasiswa Jurusan PAI IAIN RF '10)
Senin pukul 23:47,
Rasanya sudah tidak ada perdebatan lagi bagi setiap kalangan bahwa demokrasi adalah kebutuhan kolektif yang amat penting bagi masyarakat sebuah negara pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya, mengingat demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang sangat pro terhadap rakyat.
Maka berdasarkan UUD 1945, pasal 28. Kemudian menimbang UUD itu, maka ternyata masih banyak point penting yang perlu kita kritisi masalah demokrasi di Indonesia yang belum dimplementasikan secara aplikatif, oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
Sebenarnya istilah demokrasi selalu penting sejak dahulu. Setelah perang dunia ke dua, negara-negara liberal seperti Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa maupun negara-negara sosialis di Eropa timur sama-sama menggunakan demokrasi sebagai tema rujukan pengorganisasian masyarakat dan negara mereka. Di Indonesia pun, rezim yang ada pada suatu masa disebut demokrasi, mulai dari demokrasi liberal tahun 1950-an, demokrasi terpimpin akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, dan demokrasi pancasila setelah itu.
Disetiap era kepemimpinan selalu terbit mimpi, rakyat selalu merasa zaman baru telah tiba. Dan disetiap ujungnya selalu ada huru hara dan malapetaka, elit bertikai, rakyat terlibat, lalu menjadi korban, euforia era baru akan selalu mewarnai perjalanan bangsa ini, politik bumi hangus yang selalu memulai dan tak mau melajutkan meskipun baik, mereka yang menguasai perekonomian negri akan terus berpesta pora tanpa akhir, bahkan mewariskannya. Tinggallah rakyat tetap sengsara, dan hanya dilirik saat pemilu.
Selama bebarapa dekade yang lalu telah terjadi kenaikkan-kenaikan BBM yang diputuskan secara sepihak oleh elit penguasa tanpa ada kejelasan terhadap rakyat, mahasiswa turun ke jalan membuat tuntutan hanya ditanggapi apatis oleh elit penguasa dan menyuruh para aparat keamanan untuk memebubarkan aksi mereka secara brutal, apakah ini yang disebut dengan demokrasi yang sejatinya bebas untuk berbicara mengeluarkan aspirasi.
Apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur sekarang negara kita berada pada ponit of return, reformasi yang kita gembar-gemborkan dan mengharap sistem demokrasi yang optimal ternyata hanyalah proses transisi menuju “demokrasi” ala otoritarianisme orde baru.
Dari masalah yang begitu kompleks menggelayuti bumi pertiwi ini secara signifikan, dapat kita lihat bahwa demokrasi di negri ini ditunggagi oleh stakeholders atau hanyalah kepentingan kantong para elit penguasa dan sama sekali tidak pro terhadap rakyat, padahal sejatinya demokrasi itu adalah pemerintahan yang dipimpin oleh rakyat, maka sudah seyogyanya pemerintahan itu dari, oleh, dan untuk rakyat.
Maka menurut hemat saya logika demokrasi adalah logika partisipasi aktif rakyat. Secara teoristis, dapat dikatakan bahwa dalam rezim demokrasi,pola interaksi antara state dan society sangat dinamis. Atau dengan kata lain, terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan society baik dalam proses pengambilan keputusan (policy making), maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation). Sehingga keputusan yang diambil oleh negara, secara prinsipal merupakan persenyawaan antara tuntutan society dari kepentingan pihak state itu sendiri. Jadi kalaupun negara secara legal formal memiliki otoritas menjatuhkan ‘palu’akhir atas berbagai keputusan, namun perannya dalam pengambilan keputusan itu lebih sebagai mediator atas kompleksitas kepentingan dari masyarakat.
Maka berdasarkan UUD 1945, pasal 28. Kemudian menimbang UUD itu, maka ternyata masih banyak point penting yang perlu kita kritisi masalah demokrasi di Indonesia yang belum dimplementasikan secara aplikatif, oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
Sebenarnya istilah demokrasi selalu penting sejak dahulu. Setelah perang dunia ke dua, negara-negara liberal seperti Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya di Eropa maupun negara-negara sosialis di Eropa timur sama-sama menggunakan demokrasi sebagai tema rujukan pengorganisasian masyarakat dan negara mereka. Di Indonesia pun, rezim yang ada pada suatu masa disebut demokrasi, mulai dari demokrasi liberal tahun 1950-an, demokrasi terpimpin akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, dan demokrasi pancasila setelah itu.
Disetiap era kepemimpinan selalu terbit mimpi, rakyat selalu merasa zaman baru telah tiba. Dan disetiap ujungnya selalu ada huru hara dan malapetaka, elit bertikai, rakyat terlibat, lalu menjadi korban, euforia era baru akan selalu mewarnai perjalanan bangsa ini, politik bumi hangus yang selalu memulai dan tak mau melajutkan meskipun baik, mereka yang menguasai perekonomian negri akan terus berpesta pora tanpa akhir, bahkan mewariskannya. Tinggallah rakyat tetap sengsara, dan hanya dilirik saat pemilu.
Selama bebarapa dekade yang lalu telah terjadi kenaikkan-kenaikan BBM yang diputuskan secara sepihak oleh elit penguasa tanpa ada kejelasan terhadap rakyat, mahasiswa turun ke jalan membuat tuntutan hanya ditanggapi apatis oleh elit penguasa dan menyuruh para aparat keamanan untuk memebubarkan aksi mereka secara brutal, apakah ini yang disebut dengan demokrasi yang sejatinya bebas untuk berbicara mengeluarkan aspirasi.
Apa mau dikata nasi sudah menjadi bubur sekarang negara kita berada pada ponit of return, reformasi yang kita gembar-gemborkan dan mengharap sistem demokrasi yang optimal ternyata hanyalah proses transisi menuju “demokrasi” ala otoritarianisme orde baru.
Dari masalah yang begitu kompleks menggelayuti bumi pertiwi ini secara signifikan, dapat kita lihat bahwa demokrasi di negri ini ditunggagi oleh stakeholders atau hanyalah kepentingan kantong para elit penguasa dan sama sekali tidak pro terhadap rakyat, padahal sejatinya demokrasi itu adalah pemerintahan yang dipimpin oleh rakyat, maka sudah seyogyanya pemerintahan itu dari, oleh, dan untuk rakyat.
Maka menurut hemat saya logika demokrasi adalah logika partisipasi aktif rakyat. Secara teoristis, dapat dikatakan bahwa dalam rezim demokrasi,pola interaksi antara state dan society sangat dinamis. Atau dengan kata lain, terjadi suatu interaksi dua arah antara state dan society baik dalam proses pengambilan keputusan (policy making), maupun pada tahap implementasi kebijakan (policy implementation). Sehingga keputusan yang diambil oleh negara, secara prinsipal merupakan persenyawaan antara tuntutan society dari kepentingan pihak state itu sendiri. Jadi kalaupun negara secara legal formal memiliki otoritas menjatuhkan ‘palu’akhir atas berbagai keputusan, namun perannya dalam pengambilan keputusan itu lebih sebagai mediator atas kompleksitas kepentingan dari masyarakat.
Story by DPM IAIN RF Palembang